I. Pengertian Umum Cerpen
Sebenarnya, tidak ada rumusan yang baku mengenai apa itu cerpen. Kalangan sastrawan memiliki rumusan yang tidak sama. H.B. Jassin –Sang Paus Sastra Indonesia- mengatakan bahwa yang disebut cerita pendek harus memiliki bagian perkenalan, pertikaian, dan penyelesaian. A. Bakar Hamid dalam tulisan "Pengertian Cerpen" berpendapat bahwa yang disebut cerita pendek itu harus dilihat dari kuantitas, yaitu banyaknya perkataan yang dipakai: antara 500-20.000 kata, adanya satu plot, adanya satu watak, dan adanya satu kesan. Sedangkan Aoh. KH, mendefinisikan bahwa cerpen adalah salah satu ragam fiksi atau cerita rekaan yang sering disebut kisahan prosa pendek. Dan masih banyak sastrawan yang merumuskan definisi cerpen. Rumusan-rumusan tersebut tidak sama persis, juga tidak saling bertentangan satu sama lain. Hampir semuanya menyepakati pada satu kesimpulan bahwa cerita pendek atau yang biasa disingkat cerpen adalah cerita rekaan yang pendek.
Dari beberapa buku dan uraian yang layak dijadikan pedoman, tampaknya pendapat pakar cerita pendek dunia, Edgar Allan Poe, sangat cocok menjadi panduan- karena secara teoritis ia memenuhi kriteria ilmiah, tetapi secara praktis ia dapat diaplikasikan. Pendapat yang dirinci Muhammad Diponegoro dalam bukunya Yuk, Nulis Cerpen Yuk disederhanakan sebagai berikut:
Pertama, cerita pendek harus pendek. Seberapa pendeknya? Sebatas rampung baca sekali duduk menunggu bus atau kereta api, atau sambil antre karcis bioskop. Disamping itu ia juga harus memberi kesan secara terus-menerus hingga kalimat terakhir, berarti cerita pendek harus ketat, tidak mengobral detail, dialog hanya diperlukan untuk menampakkan watak, atau menjalankan cerita atau menampilkan problem.
Kedua, cerita pendek mengalir dalam arus untuk menciptakan efek tunggal dan unik. Menurut Poe ketunggalan pikiran dan aksi bisa dikembangkan lewat satu garis dari awal sampai akhir. Di dalam cerita pendek tak dimungkinkan terjadi aneka peristiwa digresi.
Ketiga, cerita pendek harus ketat dan padat. Setiap detil harus mengarus pada pada satu efek saja yang berakhir pada kesan tunggal. Oleh sebab itu ekonomisasi kata dan kalimat – sebagai salah satu ketrampilan yang dituntut bagi seorang cerpenis.
Keempat, cerita pendek harus mampu meyakinkan pembacanya bahwa ceritanya benar-benar terjadi, bukan suatu bikinan, rekaan. Itulah sebabnya dibutuhkan suatu ketrampilan khusus, adanya konsistensi dari sikap dan gerak tokoh, bahwa mereka benar-benar hidup, sebagaimana manusia yang hidup.
Kelima, cerita pendek harus menimbulkan kesan yang selesai, tidak lagi mengusik dan menggoda, karena ceritanya seperti masih berlanjut. Kesan selesai itu benar-benar meyakinkan pembaca, bahwa cerita itu telah tamat, sampai titik akhirnya, tidak ada jalan lain lagi, cerita benar-benar rampung berhenti di situ.
Rumusan Poe inilah –saya sepakat dengan Korrie Layun Rampan- sesungguhnya yang cukup bisa mewakili pengertian cerita pendek secara umum.
II. Karakteristik Cerpen
Gambaran umum karakteristik cerpen bisa ditangkap dalam rumusan Edgar Alan Poe, di atas. Untuk mempertegas perbedaan cerpen dengan novel, Ismail Marahimin, dalam Menulis Secara Populer menjelaskan bahwa cerpen memang harus pendek dan singkat. Sedangkan cerita rekaan yang panjang adalah novel. Apa ukuran panjang-pendek suatu cerpen itu? Jumlah halamannyakah? Jumlah kata-katanyakah? Menjawab hal ini, rumusan Poe cukup menjelaskan. Meskipun ada yang berpendapat jumlah katanya tidak lebih dari 10.000 kata (The Liang Gie). Ada yang membatasi jumlah katanya antara 500 – 30.000 kata (Helvy Tiana Rosa).
Yang jelas, karakteristik utama cerpen adalah pendek dan singkat. Di dalam cerita yang singkat itu, tentu saja tokoh-tokoh yang memegang peranan tidak banyak jumlahnya, bisa jadi hanya seorang, atau bisa juga sampai sekitar empat orang paling banyak. Itu pun tidak seluruh kepribadian tokoh, atau tokoh-tokoh itu diungkapkan di dalam cerita. Fokus atau, pusat perhatian, di dalam cerita itu pun hanya satu. Konfliknya pun hanya satu, dan ketika cerita itu dimulai, konflik itu sudah hadir di situ. Tinggal bagaimana menyelesaikan saja.
Karena pendeknya, kita biasanya tidaklah menemukan adanya perkembangan di dalam cerita. Tidak ada cabang-cabang cerita. Tidak ada kelebatan-kelebatan pemikiran tokoh-tokohnya yang melebar ke pelbagai hal dan masalah. Peristiwanya singkat saja. Kepribadian tokoh, atau tokoh-tokoh, pun tidak berkembang, dan kita tidak menyaksikan adanya perubahan nasib tokoh, atau tokoh-tokoh ini ketika cerita berakhir. Dan ketika konfik yang satu itu terselesaikan, kita tidak pula tahu bagaimana kelanjutan kehidupan tokoh, atau tokoh-tokoh, cerita itu.
Dan karena jumlah tokoh terbatas, peristiwanya singkat, waktu berlangsungnya tidak begitu lama, kata-kata yang dipakai harus hemat, tepat dan padat, maka –diatara karakteristik cerpen- tempat kejadiannya pun juga terbatas, berkisar 1-3 tempat saja.
Perlu ditegaskan bahwa cerpen bukan penggalan sebuah novel. BUKAN PULA sebuah novel yang dipersingkat. Cerpen itu adalah sebuah cerita rekaan yang lengkap: tidak ada, tidak perlu, dan harus tidak ada tambahan lain. Cerpen adalah sebuah genre atau jenis, yang berbeda dengan novel.
Namun demikian, sebuah cerpen meskipun singkat tetap harus mempunyai tikaian dramatik, atau dalam bahasa The Liang Gie konflik dramatik, yaitu perbenturan kekuatan yang berlawanan. Baik benturan itu terlihat nyata ataupun tersamarkan. Sebab inilah inti suatu cerpen.
III. Unsur-Unsur Dalam Sebuah Cerpen
1. Tema
Yaitu gagasan inti. Dalam sebuah cerpen, tema bisa disamakan dengan pondasi sebuah bangunan. Tidaklah mungkin mendirikan sebuah bangunan tanpa pondasi. Dengan kata lain tema adalah sebuah ide pokok, pikiran utama sebuah cerpen; pesan atau amanat. Dasar tolak untuk membentuk rangkaian cerita; dasar tolak untuk bercerita.
Tidak mungkin sebuah cerita tidak mempunyai ide pokok. Yaitu sesuatu yang hendak disampaikan pengarang kepada para pembacanya. Sesuatu itu biasanya adalah masalah kehidupan, komentar pengarang mengenai kehidupan atau pandangan hidup si pengarang dalam menempuh kehidupan luas ini. Pengarang tidak dituntut menjelaskan temanya secara gamblang dan final, tetapi ia bisa saja hanya menyampaikan sebuah masalah kehidupan dan akhirnya terserah pembaca untuk menyikapi dan menyelesaikannya.
Secara tradisional, tema itu bisa dijelaskan dengan kalimat sederhana, seperti: 1. Kejahatan pada akhirnya akan dikalahkan oleh kebaikan. 2. Persahabatan sejati adalah setia dalam suka dan duka. 3. Cinta adalah energi kehidupan, karena itu cinta dapat mengatasi segala kesulitan. Dan lain sebagainya.
Cerpen yang baik dan besar biasanya menyajikan berbagai persoalan yang kompleks. Namun, selalu punya pusat tema, yaitu pokok masalah yang mendominasi masalah lainnya dalam cerita itu. Misalnya cerpen “Salju Kapas Putih” karya Satyagraha Hoerip. Cerpen ini melukiskan pengalaman “aku” di negeri asing dengan baik sekali, tetapi secara tajam cerpen ini menyorot masalah moral. Tokoh “aku” dapat bertahan dari godaan berbuat serong karena pertimbangan moral.
2. Alur atau Plot
Yaitu rangkaian peristiwa yang menggerakkan cerita untuk mencapai efek tertentu. Banyak anggapan keliru mengenai plot. Sementara orang menganggap plot adalah jalan cerita. Dalam pengertian umum, plot adalah suatu permufakatan atau rancangan rahasia guna mencapai tujuan tertentu. Rancangan tentang tujuan itu bukanlah plot, akan tetapi semua aktivitas untuk mencapai yang diinginkan itulah plot.
Atau, secara lebih gamblang plot adalah –menurut Aswendo Atmowiloto- sebab-akibat yang membuat cerita berjalan dengan irama atau gaya dalam menghadirkan ide dasar.
Semua peristiwa yang terjadi di dalam cerita pendek harus berdasarkan hukum sebab-akibat, sehingga plot jelas tidak mengacu pada jalan cerita, tetapi menghubungkan semua peristiwa. Sehingga Jakob Sumardjo dalam Seluk-beluk Cerita Pendek menjelaskan tentang plot dengan mengatakan, “Contoh populer menerangkan arti plot adalah begini: Raja mati. Itu disebut jalan cerita. Tetapi raja mati karena sakit hati, adalah plot.”
Dalam cerpen biasanya digunakan plot ketat artinya bila salah satu kejadian ditiadakan jalan cerita menjadi terganggu dan bisa jadi, tak bisa dipahami. Adapun jenis plot bisa disederhanakan menjadi tiga jenis, yaitu:
- Plot keras, jika akhir cerita meledak keras di luar dugaan pembaca. Contohnya: cerpen-cerpen Anton Chekov, pengarang Rusia legendaris, cerpen-cerpen Trisnoyuwono yang terkumpul dalam Laki-laki dan Mesiu, cerpen-cerpen Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulannya Kejantanan di Sumbing.
- Plot lembut, jika akhir cerita berupa bisikan, tidak mengejutkan pembaca, namun tetap disampaikan dengan mengesan sehingga seperti terus tergiang di telinga pembaca. Contoh, cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam, cerpen-cerpen Danarto dalam Godlob, dan hampir semua cerpen Guy de Maupassant, pengarang Perancis menggunakan plot berbisik.
- Plot lembut-meledak, atau plot meledak-lembut adalah campuran plot keras dan lembut. Contoh: cerpen Krawang-Bekasi milik Gerson Poyk, cerpen Bulan Mati karya R. Siyaranamual, dan cerpen Putu Wijaya berjudul Topeng bisa dimasukkan di sini.
- Terbuka. Jika akhir cerita merangsang pembaca untuk mengembangkan jalan cerita, di samping masalah dasar persoalan.
- Tertutup. Akhir cerita tidak merangsang pembaca untuk meneruskan jalan cerita. Contoh Godlobnya Danarto.
- Campuran keduanya.
3. Penokohan
Yaitu penciptaan citra tokoh dalam cerita. Tokoh harus tampak hidup dan nyata hingga pembaca merasakan kehadirannya. Dalam cerpen modern, berhasil tidaknya sebuah cerpen ditentukan oleh berhasil tidaknya menciptakan citra, watak dan karakter tokoh tersebut. Penokohan, yang didalamnya ada perwatakkan sangat penting bagi sebuah cerita, bisa dikatakan ia sebagai mata air kekuatan sebuah cerita pendek.
Pada dasarnya sifat tokoh ada dua macam; sifat lahir (rupa, bentuk) dan sifat batin (watak, karakter). Dan sifat tokoh ini bisa diungkapkan dengan berbagai cara, diantaranya melalui:
Yaitu penciptaan citra tokoh dalam cerita. Tokoh harus tampak hidup dan nyata hingga pembaca merasakan kehadirannya. Dalam cerpen modern, berhasil tidaknya sebuah cerpen ditentukan oleh berhasil tidaknya menciptakan citra, watak dan karakter tokoh tersebut. Penokohan, yang didalamnya ada perwatakkan sangat penting bagi sebuah cerita, bisa dikatakan ia sebagai mata air kekuatan sebuah cerita pendek.
Pada dasarnya sifat tokoh ada dua macam; sifat lahir (rupa, bentuk) dan sifat batin (watak, karakter). Dan sifat tokoh ini bisa diungkapkan dengan berbagai cara, diantaranya melalui:
- Tindakan, ucapan dan pikirannya
- Tempat tokoh tersebut berada
- Benda-benda di sekitar tokoh
- Kesan tokoh lain terhadap dirinya
- Deskripsi langsung secara naratif oleh pengarang
4. Latar atau Setting
yaitu segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana dalam suatu cerita. Pada dasarnya, latar mutlak dibutuhkan untuk menggarap tema dan plot cerita, karena latar harus bersatu dengan teman dan plot untuk menghasilkan cerita pendek yang gempal, padat, dan berkualitas. Kalau latar bisa dipindahkan ke mana saja, berarti latar tidak integral dengan tema dan plot. Cerpen saya, Bayi-bayi Tertawa yang mengambil setting khas Palestina, dengan watak, budaya, emosi, kondisi geografi yang sangat khas Palestina tentu akan menjadi lucu jika settingnya dipindah di Ponorogo. Jelas bahwa setting akan sangat menentukan watak dan karakter tokoh.
5. Sudut Pandangan Tokoh
Diantara elemen yang tidak bisa ditinggalkan dalam membangun cerita pendek adlaah sudah pandangan tokoh yang dibangun sang pengarang. Sudut pandangan tokoh ini merupakan visi pengarang yang dijelmakan ke dalam pandangan tokoh-tokoh bercerita. Jadi sudut pangan ini sangat erat dengan teknik bercerita.
Sudut pandangan ini ada beberapa jenis, tetapi yang umum adalah:
yaitu segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana dalam suatu cerita. Pada dasarnya, latar mutlak dibutuhkan untuk menggarap tema dan plot cerita, karena latar harus bersatu dengan teman dan plot untuk menghasilkan cerita pendek yang gempal, padat, dan berkualitas. Kalau latar bisa dipindahkan ke mana saja, berarti latar tidak integral dengan tema dan plot. Cerpen saya, Bayi-bayi Tertawa yang mengambil setting khas Palestina, dengan watak, budaya, emosi, kondisi geografi yang sangat khas Palestina tentu akan menjadi lucu jika settingnya dipindah di Ponorogo. Jelas bahwa setting akan sangat menentukan watak dan karakter tokoh.
5. Sudut Pandangan Tokoh
Diantara elemen yang tidak bisa ditinggalkan dalam membangun cerita pendek adlaah sudah pandangan tokoh yang dibangun sang pengarang. Sudut pandangan tokoh ini merupakan visi pengarang yang dijelmakan ke dalam pandangan tokoh-tokoh bercerita. Jadi sudut pangan ini sangat erat dengan teknik bercerita.
Sudut pandangan ini ada beberapa jenis, tetapi yang umum adalah:
- Sudut pandangan orang pertama. Lazim disebut point of view orang pertama. Pengarang menggunakan sudut pandang “aku” atau “saya”. Di sini yang harus diperhatikan adalah pengarang harus netral dengan “aku” dan “saya”nya.
- Sudut pandang orang ketiga, biasanya pengarang menggunakan tokoh “ia”, atau “dia”. Atau bisa juga dengan menyebut nama tokohnya; “Aisha”, “Fahri”, dan “Nurul” misalnya.
- Sudut pandang campuran, di mana pengarang membaurkan antara pendapat pengarang dan tokoh-tokohnya. Seluruh kejadian dan aktivitas tokoh diberi komentar dan tafsiran, sehingga pembaca mendapat gambaran mengenai tokoh dan kejadian yang diceritakan. Dalam “Sekelumit Nyanyian Sunda” Nasjah Djamin sangat baik menggunakan teknik ini.
- Sudut pandangan yang berkuasa. Merupakan teknik yang menggunakan kekuasaan si pengarang untuk menceritakan sesuatu sebagai pencipta. Sudut pandangan yang berkuasa ini membuat cerita sangat informatif. Sudut pandanga ini lebih cocok untuk cerita-cerita bertendens. Para pujangga Balai Pustaka banyak yang menggunakan teknik ini. Jika tidak hati-hati dan piawai sudut pandangan berkuasa akan menjadikan cerpen terasa menggurui.
IV. Anatomi Cerita Pendek
Setelah mengerti betul definisi cerpen, karakteristik cerpen dan unsur-unsur yang wajib ada dalam membangun cerpen, maka sejatinya Anda sudah sangat siap untuk menciptakan sebuah cerpen. Sebelum menulis cerpen ada baiknya anda mengetahui anatomi cerpen atau bisa juga disebut struktur cerita. Umumnya anatomi cerpen, apapun temanya, di manapun settingnya, apapun jenis sudut pandangan tokohnya, dan bagaimanapun alurnya memiliki anatomi sebagai berikut:
- Situasi (pengarang membuka cerita)
- Peristiwa-peristiwa terjadi
- Peristiwa-peristiwa memuncak
- Klimaks
- Anti Klimaks
Atau, komposisi cerpen, sebagaimana ditandaskan H.B.Jassin dapat dikatakan sebagai berikut:
- Perkenalan
- Pertikaian
- Penyelesaian
Cerpen yang baik adalah yang memiliki anatomi
dan struktur cerita yang seimbang. Kelemahan utama penulis cerpen pemula
biasanya di struktur cerita ini. Helvy Tiana Rosa selama menjadi pimred
Annida dan melihat kelemahan mereka itu dan berkomentar,
“Cerpenis-cerpenis pemula biasanya kurang memperhatikan proporsionalitas struktur cerita. Banyak di antara mereka yang berpanjang-panjang ria dalam menulis pembukaan cerpennya. Mereka menceritakan semua, seolah takut para pembaca tak mengerti apa yang akan atau sedang mereka ceritakan. Akibatnya sering satu sampai dua halaman pertama karya mereka masih belum jelas akan menceritakan tentang apa. Hanya pengenalan dan pemaparan yang bertele-tele dan membosankan. Konflik yang seharusnya dibahas dengan lebih jelas, luas dan lengkap, sering malah disinggung sambil lalu saja. Pengakhiran konflik pun dibuat sekedarnya. Tahu-tahu sudah penyelesaian. Padahal inti dari cerpen adalah konflik itu sendiri. Jadi jangan sampai pembukaan cerpen menyamai apalagi sampai menelan konflik tersebut.”
“Cerpenis-cerpenis pemula biasanya kurang memperhatikan proporsionalitas struktur cerita. Banyak di antara mereka yang berpanjang-panjang ria dalam menulis pembukaan cerpennya. Mereka menceritakan semua, seolah takut para pembaca tak mengerti apa yang akan atau sedang mereka ceritakan. Akibatnya sering satu sampai dua halaman pertama karya mereka masih belum jelas akan menceritakan tentang apa. Hanya pengenalan dan pemaparan yang bertele-tele dan membosankan. Konflik yang seharusnya dibahas dengan lebih jelas, luas dan lengkap, sering malah disinggung sambil lalu saja. Pengakhiran konflik pun dibuat sekedarnya. Tahu-tahu sudah penyelesaian. Padahal inti dari cerpen adalah konflik itu sendiri. Jadi jangan sampai pembukaan cerpen menyamai apalagi sampai menelan konflik tersebut.”
V. Agar Sebuah Cerpen Memiliki Daya Pikat
Agar cerpen ada memikat pembaca, trik-trik berikut ini bisa dipertimbangkan baik-baik:
- Carilah ide cerita yang menarik dan tidak klise. Mengulang ide cerita semisal “Bawang Merah dan Bawang Putih” adalah pilihan yang kurang tepat, karena akan tampak sangat klise dan menjadi tidak menarik pembaca.
- Buatlah lead, paragraf awal dan kalimat penutup cerita yang semenarik mungkin. Alinea awal dan alinea akhir sangat mementukan keberhasilan sebuah cerpen. Alinea awal berfungsi menggiring pembaca untuk menelusuri dan masuk dalam cerita yang dibacanya. Sedangkan kalimat akhir adalah kunci kesan yang disampaikan pengarang. Kunci kesan ini sangat penting, karena cerpen yang memberikan kesan yang mendalam di hati pembacanya, akan selalu dikenang.
- Buat judul cerita yang bagus dan menarik. Sebagaimana buku, cerita yang bagus tidak semuanya dibaca orang. Salah satu penyebabnya adalah kalimat pembuka yang buruk dan judul yang mati, tidak menggugah rasa ingin tahu pembacanya. M. Fauzil Adhim dalam bukunya Dunia Kata menjelaskan beberapa hal yang seyogyanya diperhatikan dalam menulis judul; Pertama, judul sebaiknya singkat dan mudah diingat. Kedua, judul harus mudah diucapkan. Dan yang ketiga, kuat maknanya.
- Perhatikan teknik penceritaan. Teknik yang digunakan pengarang
menyangkut penokohan, penyusunan konflik. pembangunan tegangan dan
penyajian cerita secara utuh. Jangan sampai pembaca sudah jenuh di awal
cerita. Untuk menghindari kejenuhan pembaca di awal cerita bisa kita
gunakan teknik:
- in medias res (memulai cerita dari tengah)
- flash back (sorot balik, penyelaan kronologis)
- Buatlah suspense, kejutan-kejutan yang muncul tiba-tiba (bedakan dengan faktor kebetulan), jangan terjebak pada cerita yang bertele-tele dan mudah ditebak.
- Cerpen harus mengandung kebenaran, keterharuan dan keindahan. Elizabeth Jolley, mengatakan, “Saya berhati-hati agar tidak membuat kesalahan. Sungai saya tidak pernah mengalir ke hulu.” Gabriel Garcia Marquez, sastrawan besar dari Kolumbia yang meraih novel itu berkata, “Pujian terbesar untuk karya saya tertuju kepada imajinasi, padahal tidak satu pun baris dalam semua karya saya yang tidak berpijak pada kenyataan.”
- Ingat bahwa setiap pengarang mempunyai gaya khas. Pakailah gaya sendiri, jangan meniru. Gunakan bahasa yang komunikatif. Hindari gaya berlebihan dan kata-kata yang terlalu muluk.
- Perhatikan setiap tanda baca dan aturan berbahasa yang baik, tetapi tetap tidak kaku. Jangan bosan untuk membaca dan mengedit ulang cerpen yang telah anda selesaikan.
Akhirnya, saat Anda berniat menggoreskan pena
menulis cerpen ingatlah pesan J.K. Rowling, siapa tahu ada manfaatnya,
Mulailah menulis apa saja yang kamu tahu. Menulislah tentang pengalaman
dan perasaanmu sendiri. Lalu saat menulis cerpen ingat pesan Edgar
Allan Poe, agar cerpenmu berbobot, Dalam cerpen tidak boleh ada satu kata
pun yang terbuang percuma, harus punya fungsi, tujuan dalam komposisi
keseluruhan.
CONTOH CERPEN :
Kisah-Kisah Tengah Malam (Edgar Allan Poe)
Judul : Kisah-Kisah Tengah Malam
Penulis : Adgar Allan Poe
Penerjemah : Maggie Tiojakin
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Desember 2010
Tebal : 248 hlm
Kisah-kisah Tengah Malam adalah kumpulan cerita pendek karya Sastrawan Amerika Edgar
Allan Poe (1809-1849) yang namanya telah dikenal di seluruh dunia.
Karya-karyanya meliputi puisi, novel, essai, dan puluhan cerpen-cerpen
yang umumnya bertemakan misteri sehingga ia juga dikenal sebagai master penulis
cerita misteri-horor gothic dunia yang karyanya banyak menginspirasi
penulis-penulis kisah misteri di generasi-generasi selanjutnya.
Di
Indonesia nama Poe sendiri mungkin masih terasa asing dibanding
penulis-penulis kisah misteri lainnya seperti Alfred Hithcok, Stephen
King, Agatha Christie, dll, karena karya-karya Poe ini sedikit sekali
yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Dari data yang saya
peroleh, pada tahun 1952 Yayasan Pembangunan menerbitkan sebuah karya Poe berjudul “Kumbang Emas”. Lalu di tahun 2002 A.S Laksana pernah menerjemahkan cerpen Poe “Tell –Tale Heart” (Hati yang Meracau) yang diterbitkan oleh Akubaca, dan kini yang terbaru adalah terbitan Gramedia berjudul “Kisah-kisah Tengah Malam” yang diterjemahkan dengan baik oleh Magie Tiojakin yang memuat 13 cerpen terpilih Alan Edgar Poe.
Sayangnya
penerbit tidak menjelaskan apa yang mendasari dipilihnya 13 cerpen Poe
untuk buku ini, tapi yang pasti ketiga belas cerpen dalam buku ini
setidaknya mewakili bagaimana Poe dengan cara bertuturnya yang khas
mengajak pembacanya menyelami aneka kisah misteri horor gothic klasik
karya penulis dunia Edgar Allan Poe.
Sepertinya
pembaca tak diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri terlebih dahulu
untuk masuk dalam kisah misteri. Tanpa basa-basi buku ini menyuuguhkan
kisah yang langsung meneror pembacanya. Dalam cerpen pertama yang
berjudul “Gema Jantung Yang Tersiksa” Poe menceritakan peristiwa pembunuhan yang dilakukan si tokoh utamanya terhadap lelaki tua. Alasannya hanya karena dia tak suka melihat mata si lelaki tua yang menurutnya menyerupai mata seekor burung bangkai.
Setelah membunuhnya dengan keji untuk menyembunyikan jejaknya ia memutilasi mayatnya
dan menyembunyikannya di bawah lantai kayu dikamar si lelaki tua itu.
Walau ketika ia memutilasi mayatnya ia tampak begitu tenang tapi tak
lama setelah itu ia mulai merasakan kegilisahan yang amat sangat,
batinnya terteror karena ia merasa terus mendengar bunyi detak jantung
si lelaki tua yang telah dibunuhnya.
Teror selanjutnya dapat kita temui di cerpen “Hop Frog” tentang seorang pelawak bertubuh
ceblol yang bersama rombongannya diundang ke istana untuk menghibur
sang raja dan para penasehatnya. Awalnya kisah ini bernuansa ceria namun
ketika sang raja melecehkan teman wanita Hop Frog, ia menjadi sakit
hati dan segera menyusun rencana keji. Ia
mengemas sebuah pertunjukan lawakan dimana raja dan para penasehatnya
ikut ambil bagian dalam pertunjukan tersebut. Dengan memakai kostum
monyet sang raja sama sekali tak menduga bahwa
pertunjukkan yang mereka mainkan itu pada akhirnya berujung pada sebuah
peristiwa pembantaian keji terhadap raja dan para penasehatnya.
Yang tak kalah mengerikan dan membuat jantung saya berpacu kencang ketika membacanya adalah cerpen
“Jurang dan Pendulum” dimana dikisahkan seorang tawanan harus menderita
secara psikis karena dalam keadaan terikat ia harus menyaksikan pendulum
tajam yang sedikit demi sedikit turun untuk mengiris tubuhnya. Di
cerpen ini Poe mendeksripsikannya dengan detail dan perlahan sehingga
membuat pembacanya menahan nafas karena seolah merasakan sendiri teror mental yang dialami si tawanan itu.
Buku ini juga menyajikan salah satu cerpen Poe
yang paling populer yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa
dan telah diadaptasi beberapa kali kedalam sebuah film yaitu “Black Cat”
(Kucing hitam), cerpen ini menceritakan seorang kepala rumah tangga
yang pada awalnya memiliki kehidupan yang normal bersama istrinya dan
Pluto, seekor kucing hitam kesayangannya. Kehidupannya
berubah ketika suatu saat ia mengalami tekanan dalam hidupnya sehingga
membuat dirinya sering mabuk dan marah-marah.
Suatu malam ia pulang dalam keadaan mabuk, ketika
dilihatnya Pluto menghindarnya darinya maka diangkatnya kucing hitamnya
itu, secara spontan Pluto meronta dan spontan mengingitnya, seketika
itu pula emosinya meledak-ledak, dengan keji ia mencungkil sebelah mata kucing kesayangannya itu. Di malam-malam berikutnya ia menggantung kucing kesayangannya sampai mati. Entah karena kutukan kucing hitamnya atau hanya kebetulan, dimalam setelah ia membunuh kucing hitamnya tiba-tiba api melahap habis rumahnya hingga ia jatuh miskin.
Setelah
kejadian itu, kepribadiannya semakin aneh hingga pada akhirnya
datanglah seekor kucing hitam lain yang sangat mirip dengan Pluto yang
telah dibunuhnya. Suatu hari kucing itu
membuatnya tersandung, amarahnya meluap, ketika ia hendak membunuh
kucing itu, istrinya menghalanginya alih-alih membunuh kucing iamalah membunuh istrinya dan menguburkan mayatnya ke dalam tembok.
Seluruh
cerpen dalam buku ini memang menyajikan kisah-kisah misteri ala Poe
yang meneror pembacanya, namun diantara ketigabelas kisah misteri ada
satu kisah misteri yang mungkin bisa dibilang unik dan tak seram, bahkan
terkesan lucu yaitu cerpen berjudul “Obrolan dengan Mummy” dimana
dikisahkan sejumlah ilmuwan yang berhasil menemukan Mummy mesir kuno dan
mencoba menghidupkannya dengan sengatan aliran listrik. Mummy itu
kemudian hidup dan berdialog panjang tentang pencapaian teknologi mesir
kuno dan masa kini.
Membaca seluruh cerpen-cerpen Poe dalam buku ini memang menarik, dalam
menyajikan kisah-kisah msiterinya Poe tidak hanya meneror pembacanya
melalui kehadiran sosok hantu atau monster namun ia menggedor saraf
takut pembacanya melalui kegilaan psikologis yang dialami
tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh yang diciptakan Poe umumnya dhantui oleh
bayangan-bayangannya sendiri sehingga hidup mereka dicekam oleh
ketakutan yang mereka ciptakan sendiri dalam benak mereka.
Poe
juga seorang pendongeng yang hebat, imajinasinya yang luas membawa
pembacanya untuk masuk dari satu kisah ke kisah misteri lainnya dengan
setting yang berbeda-beda. Di sebuah rumah sempit, di sebuah kapal ,
ditengah kepungan badai, daintara tebing yang curam, dalam ruang
penyiksaan tahanan, istana raja, hingga ruang kerja seorang pelukis.
Semua itu dideskirpsikannya dengan detail, misterius, dan ironis
sehingga masing-masing kisah memberikan sebuah pengalaman yang unik bagi
pembaca.
Selain
itu dari cerpen-cerpennya ini juga pembaca akan memahami betapa banyak
referensi dan wawasan yang diketahui oleh Poe baik dalam bidang
geografi, sejarah, mitologi, budaya, bahasa maupun sastra yang mewarnai cerpen-cerpennya.
Satu
hal yang patut disayangkan dalam buku ini adalah kisah terakhir yang
menurut saya kurang pas sebagai penutup buku ini. Jika di awal pembaca
sudah disuguhkan dengan kisah yang meneror pembacanya namun di cerpen
terakhir “ Rumah Keluarga Usher” seolah menjadi antiklimaks karena di
cerpen ini Poe tampak berputar-putar menjalin kisahnya sehingga saya
sendiri bosan dan ingin segera sampai di ujung kisahnya.
Pada
akhirnya setiap pembaca akan memiliki kesannya sendiri pada apa yang
telah dibacanya di buku ini. Namun jika kita mau lebih dalam
memaknainya, buku ini tentunya tak sekedar
menimbulkan efek ngeri bagi pembacanya semata. Setidaknya ketakutan yang
dialami para tokoh-tokoh dalam buku ini menyadarkan kita sejauh mana ketakutan mengendalikan dan mempengaruhi kehidupan kita.
Apakah
selama ini kehidupan kita dikendalikan oleh ketakutan-ketakutan yang
kita ciptakan sendiri dalam benak kita? Jika ya, mungkin tiba saatnya
kita menyingkirkan semua ketakutan yang mungkin belum tentu akan terjadi
dan menggantinya dengan rasa optimis untuk mengisi hari-hari di depan
kita.
Oke terima kasih
selamat mencoba:)
Comments
Post a Comment